THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Wind Troublemaker

Senin, 11 Mei 2009

Death Note 3.5: L Change The World




Death Note 3.5: L Change The WorLd

Film selanjutnya dari seri Death Note movie. First impression: ceritanya tidak seperti yang gue bayangkan.

L Change The WorLd berfokus di kisah L, 23 hari sebelum kematiannya. Main story di film ini nyeritain tentang L yang berusaha melawan sekelompok orang yang menamakan gerakan meraka “Blue Ship” *atau apalah itu, gue lupa*. Mereka membuat virus dahsyat-mematikan perpaduan antara virus influenza dan Ebola [kalo gak salah, gue gak terlalu ngerti keduanya]. Virusnya menyebar lewat darah, as usual as always. Orang-orang itu bertujuan membuat dunia yang ‘lebih bersih’ dengan membumihanguskan orang-orang yang dianggap useless. Ya...begitulah kira-kira.

Perkiraan gue sebelum nonton *gue gak baca review apapun sebelumnya* adalah film ini nyeritain soal 23 hari terakhir hidup L, yang memborgol diri bareng Raito Yagami, kayak di komik. Tapi, ternyata salah sodara-sodara! Jauh berbeda. Kayaknya, film ini memang sengaja dibikin sebagai sidestory dari Death Note yang bener-bener memfokuskan diri untuk bercerita tentang L Lawliet. Bahkan, gak ada sekalipun penampakan Raito secara langsung. Dia cuma nongol sekali, itupun via layar pengawasannya si L yang ada dikamarnya. Hebat, benar-benar fokus pada L, sampai-sampai Raito Yagami tidak ditongolin. Gue rasa ini mah taktik pemasaran, soalnya keberadaan Raito *kalau-kalau dia dimunculkan banyak ya di film ini* akan menurunkan kepopuleran L sebagai TOKOH UTAMA. Ya, maklumlah, Jepang, banyak kok cerita seperti itu komik.

Back to the movie, ceritanya sih lumayan. Meskipun alurnya sedikit ketebak1 dan endingnya tepat seperti perkiraan. Banyak pemunculan tokoh yang gak ada di komik, ini yang bikin ceritanya sedikit terasa segar.Jadi gue pikir, “okeh! Nonton aja lah, toh visi film ini cuma nyeritain H-23 L mati, apapun itu!”.

Dari segi sinematografi, bagus! Karena ini digarap sebagai FILM, bukan DORAMA. Jadi, ada perbedaan. Apalagi yang bikin *kalo gak salah* WB Jepang. Wajarlah kalau terlihat berkualitas. Kalo dari segi musik, gue cuma bisa bilang satu kata: hampa. Sedikit banget backsound buat ilustrator, satu-satunya lagu yang nongol cuma di ending, lagunya si Lenny Kravits. Acting pemainnya, lumayanlah. Gak terlalu jelak, gak spektakuler juga. At least, cukup nyaman meilhat orang-orang itu memainkan karakter mereka.

From: Next Chapter of LIFE

Minggu, 10 Mei 2009

Death Note : Dua Jiwa


Dua Jiwa
from : FanFiction.net

Author: SheilaLuv, yang jatuh cinta dengan interaksi yang intens antara Light dan L semenjak pertama kali mendalami Death Note. Yang jelas, akhir-akhir ini, mereka mulai mengambil alih ruang di pikiran saya. Light/L memang begitu indah…-dodges rotten tomatoes-

Disclaimer: Death Note is the property of Ooba Tsugumi and Obata Takeshi. Hanya dalam fanfic saya bisa meminjam karakter-karakter ciptaan mereka dan menggerakkannya sesuka hati. Lagu Never Knew What Love Meant dari album OST Samurai 7 adalah kepunyaan Rin, lagu favorit saya akhir-akhir ini, hoho…

Summary: Siapa yang benar-benar mengenal Light Yagami, selain dirinya sendiri dan rival abadinya, L? Hanya itulah kebenaran yang tertulis di hati masing-masing, dan waktu membuktikan kalau koneksi di antara mereka nyata adanya.

Pairing: Light/L. Saya tahu mereka adalah rival sejati. Tapi pikirkanlah, mereka berdua saling melengkapi, kan? Siapa lagi yang pantas ‘bersanding’ dengan L kalau bukan Light? –digebuk-All hail for L-sama and Light-sama! Yang suka dengan Yaoi/BL, terutama Light/L, silahkan. Bagi yang nggak suka yaoi, silahkan pergi sebelum muncul keinginan untuk nge-flame saya, ok? Enjoy!

Buat sesama author Indonesia, mari gabung di .nr! Ayo kita sebarkan fanatisme terhadap Death Note di dunia maya! Ok, ok?

Every time I look in your eyes

I see something I can’t deny…

-Never Knew What Love Meant- by Rin

Chapter 1

Kebenaran

Kebenaran tidak pernah memihak. Ia akan selalu mewujudkan maknanya, bahkan lewat seseorang yang mungkin terasing dari hingar-bingar dunia.

Seperti L.

“Light-kun benar-benar orang yang menarik, Yagami-san.”

Yagami Soichiro, Kepala Divisi Investigasi Kepolisian Tokyo yang berusia 49 tahun menoleh ke samping. Menatap figur detektif terhebat di dunia yang sedang berjongkok di kursi putarnya sembari mengunyah sebongkah cokelat hitam. Berkas sinar radiasi dari monitor di depannya tidak menghalangi bola mata sehitam malam itu untuk terus memperhatikan—menganalisa arsip-arsip kasus kriminal sampai detil terkecil—demi menemukan titik terang yang terkubur di antara absolutisme kegelapan.

Di gedung penyelidikan khusus yang telah dipersiapkan L adalah basis normal dimana seluruh tim investigasi berkumpul. Hanya saja, saat ini, yaitu jam makan siang dimanfaatkan oleh sebagian dari mereka untuk rehat—meninggalkan Soichiro dan L berdua. Dua lelaki yang lahir dari generasi berbeda itu sedang berdiskusi, atau lebih tepatnya berdebat; mempertahankan pendapat dari kubu masing-masing tentang seorang pelajar paling sempurna di seluruh penjuru Jepang, seorang figur jenius dengan pengamatan tajam, yang bisa menjadi sekutu yang berguna maupun musuh yang berbahaya—seorang Yagami Light.

L tidak berniat menarik kata-katanya kembali. Bahkan dengan intonasi nada suara yang sekilas terdengar monoton dan tanpa emosi—sesungguhnya tersembunyi bara keingintahuan yang meluap-luap.

Kedua mata Yagami Soichiro yang terlindung oleh sepasang lensa kacamata presbiopi dengan gagang berwarna gelap menyipit. “Apa maksud dari perkataanmu barusan, Ryuuzaki?”

L meneruskan elaborasinya. “Bukan bermaksud menuduh sisi inosen putra Anda atau meragukan eksistensinya sebagai seorang Yagami Light—bukan juga untuk membantah pembelaan diri terhadapnya, Yagami-san. Light-kun memang manifestasi sempurna dari harapan seorang ayah terhadap putranya, saya bisa mengerti itu. Tapi, selalu ada dua sisi dari diri setiap manusia, bukan begitu? Saya merasa telah melihat sisi lain dari Light-kun yang mungkin luput dari perhatian Anda—dan itulah yang menguasai pikiran saya sekarang.”

L menumpuk gula balok di tepi cangkir kopinya, memastikan susunannya tetap stabil dari berbagai posisi.

Soichiro meluruskan posisi duduknya, menggeser kacamatanya hingga bertengger tepat di tengah hidung, dan berkata,”Bisakah kau jelaskan apa persisnya sisi lain dari putraku yang telah menyita pikiranmu, Ryuuzaki? Aku selalu ada di sisi Light semenjak dia kecil—aku mengenal manusia seperti apa dia—dia putraku yang paling berharga, apa pun pendapatmu tentangnya.”

Setidaknya Soichiro sudah siap menghadapi perkataan apa saja yang mungkin meluncur dari bibir pucat milik L, meski prospek Light yang selalu dibanggakannya berakhir dengan satu tuduhan mematikan dari L sungguh membuat frustasi. Kadang Soichiro berpikir, mengapa L tidak bisa melihat Light sebagaimana adanya—seperti yang dilihat oleh dirinya dan semua orang yang mengenalnya? Apa karena perbedaan paradigma atau cara pandang telah menciptakan jurang tak terlihat antara L dan semua orang? Seolah L sanggup melihat apa yang tidak dapat diraba oleh nalar maupun ditangkap oleh mata, hingga kedua matanya yang sanggup menghipnotis dapat melihat hitam di balik putih.

“Baiklah, jika Yagami-san mau tahu,”ucap L dengan sikap tidak peduli. Kali ini, sambil mengunyah sekantung snack Pocky rasa cokelat, detektif itu berkata,”Light-kun memang putra Anda, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan itu. Tapi, pernahkah terlintas di pikiran tentang sejauh mana Anda mengenalnya secara mendalam? Karena hal yang terlihat jelas dan nyata tidak selalu berarti kebenaran sejati—bukankah begitu prinsip hidup bagi pribadi yang menjunjung kebenaran di atas segalanya?”

Soichiro menatap L lurus-lurus. Wajahnya yang mulai berkerut dipahat usia tampak terbebani. “Apa ini berhubungan dengan kemungkinan terburuk yang kau katakan—kalau anakku sebenarnya adalah Kira yang selama ini kita cari?”

Sebagai jawaban, L meraih secangkir es krim vanilla yang ditaburi sirup cokelat dingin dan diam sejenak untuk menikmatinya. Melihat Soichiro masih juga tegang, L menyodorkan sebongkah cokelat lagi. Soichiro bergeming, kaku bagai batu. L kemudian mencelupkan bongkahan cokelat itu ke dalam es krimnya, dan mengaduk-ngaduknya dengan jari telunjuk dan jempol yang saling mengunci.

“Tidak ada apa-apa, hanya saja, menurut saya, penting untuk mengenal putra Anda sebagaimana dirinya yang sesungguhnya. Dan saya perkirakan Anda tipe orang tua yang cukup perhatian sehingga mau mengambil jalan itu, bukan?”tanya L.

Pria itu berdehem. “Harus kukatakan kalau ini bukanlah hal yang pantas kau campuri, Ryuuzaki. Aku tahu kapasitasku sebagai seorang ayah. Light adalah bagian dari keluarga yang kujaga—anak yang brilian dan berbakti tanpa henti.”

Bahkan dalam ekspresi yang samar, terlukis keraguan yang dapat terbaca di wajah L. “Hanya itu saja?”L memastikan.

“Ya, seperti itulah garis besarnya,”jawab Soichiro lugas. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang Yagami Light?

L menggeleng pelan, kilat pertanda kemenangan sekilas menyala di matanya. “Sayangnya, Yagami-san, saya tipe pribadi yang suka menaruh perhatian pada hal-hal kecil, sekalipun mereka terlihat remeh.” Dua balok gula jatuh dengan bunyi berdeguk ketika L mencampurnya dengan kopi yang baru setengah diminumnya. “Itulah sisi Light-kun yang Yagami-san lihat dan kenal selama ini—tapi saya yakin, 100 persen,”L berhenti meneguk untuk menegaskan maksudnya,”Masih ada sisi lain dari putra Anda yang belum terungkap, Yagami-san.”

Otot-otot di pelipis Soichiro mulai berkedut. Dia menggertakkan gigi untuk menahan emosi yang nyaris membucah pada ucapan selanjutnya,”Dengan kata lain, kau tahu sesuatu tentang Light yang aku tidak tahu, Ryuuzaki?”

Satu anggukan afirmatif dari L sudah cukup sebagai jawaban final.

“Light-kun adalah orang brilian, tapi rindu akan kebebasan. Terpenjara oleh idealismenya sendiri, hingga bisa menimbulkan kontradiksi antara keinginan mendasar di hatinya dengan pendapat masyarakat di sekelilingnya. Begitulah kesimpulan dari pengamatan saya selama ini. Dan pertemuan kami di Universitas To-oh semakin menguatkan hipotesis itu.” Suara L bertambah dalam hingga nyaris menyerupai bisikan yang lirih,”Idealisme yang begitu kuat dan mengakar—kalau dibiarkan bebas tanpa kendali hanya akan menambah penderitaan Light-kun dan orang-orang di sekitarnya.”

Yagami Soichiro mengerutkan kening, terjebak antara kebingungan dan kemarahan yang memuncak. Menurutnya, tidaklah pantas bagi L untuk menghakimi putranya secara lancang, yang dianggapnya ‘terpenjara oleh idealisme’. Memangnya L pikir setinggi apa kedudukannya dalam tatanan hidup Light? Hakim? Atau mungkin Tuhan?

Sudah cukup bagi Soichiro untuk segera keluar dari sirkuit berbahaya ini. Dugaan-dugaan L bisa saja menenggelamkannya dalam kegilaan yang tidak kunjung putus. Bukan hanya Light yang jadi taruhan, tapi juga harga dirinya sebagai seorang ayah.

“Kau tidak mengerti apa pun tentang putraku, Ryuuzaki,”dia memberi tekanan pada setiap kata untuk memastikan L mendengarnya,”Tidak akan pernah, seperti aku mengerti tentangnya.”

L tidak berusaha merespon. Dia tahu persis sampai mana batas kesabaran pria ini.

L juga tahu kalau kalimat terakhir Soichiro tidak sepenuhnya benar. Bukankah selalu ada dua sisi yang bertentangan dalam jiwa setiap manusia? Baik atau jahat. Hitam atau putih. Patuh atau pembangkang. Hanya tinggal menunggu waktu untuk melihat sisi mana yang lebih dominan selama hidupnya.

L menganggap ini sebagai tantangan halus untuk membuktikan kebenaran yang digenggamnya saat ini. Dia akan mencari cara untuk membuktikannya. Hingga Yagami Light yang sekarang akan bertekuk lutut; mengakui hal-hal tersembunyi yang sejak dulu ditutupinya di hadapan L.

Bibir L melengkung membentuk senyum tipis sementara dia melihat ke arah jam. Sebentar lagi tiba waktunya bagi Light untuk singgah mengunjungi Soichiro di markas ini.

“Cepatlah datang, Light-kun. Saya tak pernah lelah menunggumu,”bisiknya.