Saya bukan pembaca Harry Potter, karena saya merasa bukan lagi remaja seusia kelompok pembaca buku karangan J.K. Rowling itu. Jadinya saya tidak merasa tertarik untuk membacanya. Meskipun sebenarnya dalam soal baca buku, umur tidak bisa dijadikan patokan utama.
Buku “Aku Ingin Bunuh Harry Potter” tulisan Hernowo, pada awalnya juga tidak membuat saya tertarik untuk membacanya. Tapi berhubung itu adalah buku hadiah karena telah mengajukan pertanyaan bergizi kepada sang penulis, ketika saya menghadiri satu seminarnya, saya merasa perlu membacanya. Ini adalah hadiah buku kedua saya pada tahun 2008 ini, setelah sebelumnya mendapat hadiah buku dari Andrea Hirata di tahun yang sama.
Kebetulan, buku “Aku Ingin Bunuh Harry Potter” itu adalah edisi extended version dari cetakan sebelumnya. Bagian depan buku itu banyak mengupas ringkasan dari seluruh serial buku Harry Potter. Jadi saya lewatkan saja bagian depannya, dan baru merasa tertarik untuk membaca bagian extended version-nya. Pada bagian ini, saya baru merasa perlu berhenti sejenak dan kemudian mulai mengunyah isinya.
Jujur saja, ini buku bagus. Terutama jika dikaitkan dengan nilai-nilai yang ingin ditawarkan kepada pembaca. Bagi Hernowo, sebuah buku tidak boleh sekedar mampir di kepala, bermain-main, lalu lewat begitu saja. Sebuah buku yang telah habis dibaca dan meninggalkan makna pribadi, perlu segera dicatat, dituliskan maknanya. Semacam ringkasan, tapi sebenarnya lebih dari itu. Proses membaca dan menulis secara simultan ini bagi Hernowo kemudian disebutnya dengan istilah “mengikat makna,” Ini semacam proses dialog dengan buku yang telah dibaca. Hasil dialog itu bisa mencerahkan, menggairahkan, atau bahkan memberi nilai baru, terutama yang mampu memberi makna pribadi. Hasil dialog dengan buku bisa juga berarti sebaliknya, kita bisa “memakinya” dan kemudian segera membuangnya, kalau itu adalah buku sampah. Buku yang tak memberi nilai apa-apa, kecuali hanya mengotori pikiran dengan hal-hal yang tak bermanfaat.
Demikian halnya dengan buku Harry Potter yang melegenda. Hernowo merasa perlu membuat buku tentang Harry Potter untuk kalangan remaja, karena ternyata buku Harry Potter juga memiliki makna yang perlu diikat. Makna penting yang perlu diikat itu adalah soal cinta dan imajinasi. Melalui Harry Potter, para remaja diajak untuk mulai belajar mencintai (bukan dicintai), dan berimajinasi. Mencintai sebagai sebuah upaya belajar, bukan “kecelakaan” sebagaimana orang “jatuh” cinta (seharusnya belajar cinta). Berimajinasi itu juga penting, sebagimana para penemu besar dunia – Archimedes, Newton, Kekule – mengawali penemuan besarnya dengan imajinasi.
Tanpa saya sadari, gagasan saya memembuat situs rumah baca di alamat www.rumahbaca.wordpress.com ini, ternyata memiliki makna yang sama dengan konsep “mengikat makna” dari Hernowo itu. Konsep itu bukan sekedar “rajin membaca banyak ilmu” tapi lebih dalam dari semua itu.
Sebagai CEO pada penerbitan Mizan, Hernowo sungguh cerdas dalam melahirkan gagasan konsep itu. Pada satu sisi, konsep itu telah mampu melahirkan pesan moral kepada seluruh pembaca untuk selalu berfikir, menemukan makna, dan mulai belajar menuliskan gagasan-gasan atau nilai-nilai baru yang telah didapat dari membaca buku. Pada sisi yang lain, pada aspek dagang dan financial, konsep baca dan tulis ini tentu akan memberi angin segar bagi bisnis penerbitan. Karena untuk bisa membaca dan menulis, orang perlu membeli buku, dan itu adalah kabar bagus untuk bisnis penerbitan. Tentu Hernowo bukanlah termasuk kelompok orang yang hanya mengejar ambisi dagang dengan melambungnya omzet dari penjualan buku-bukunya, dan melupakan kandungan isinya. Lebih dari itu, dia tentu selalu berupaya agar buku-buku yang diterbitkannya bukanlah sampah yang tak memberi manfaat apa-apa bagi kehidupan ini.
(Review buku ditulis oleh Hartono)
1 komentar:
ih... wawa.... hweheheh...
Byakuyanya mana og cm 1???
Posting Komentar